BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi
kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan
dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian
al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya
bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan
salah satu alat yang mampu mempersekutukan sekelompok orang atau umat di
samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang
lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan,
baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas. Oleh
karena itu soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai
dengan cara yang mereka anggap baik.
Dalam makalah
ini akan dibahas bagaimana musyawarah telah direnrintahkan dalam Al-Qur’an dan
bagaimana penafisrannya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Daru uraian di
atas dapat kita simpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian musyawarah ?
2.
Ayat-yat yang menerangkan tentang musyawarah?
3.
Bagaimana Faedah musayawarah ?
4.
Bagaimana musyawarah diterangka dalam Al-Qur’an
?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Mahasiswa mampu mengetahui pengertian
musyawarah
2.
Mahasiswa mampu memahami penafisran ayat-ayat
tentang musyawarah
3.
Mahasiswa dapat mengetahui faedah dari
bermusyawarah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
MUSYAWARAH
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata (
شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi (
شورى ) ) Syûrâ. Kata Syûrâ
bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan
satu pendapat dengan pendapat yang lain.[[1]]
Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya.[[2]] Kata ini terambil
dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya. Berarti
mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya
meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat
siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya.
Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat
orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan
dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah,
karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan
atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam
perundingan itu.
Musyawarah merupakan salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan
insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam
kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Islam memandang penting peranan
musyawarah bagi kehidupan umat manusia, antara lain dapat dilihat dari
perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat
pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka
hadapi.
B.
AYAT-AYAT
TENTANG MUSYAWARAH
1.
Surat Al-Baqarah ayat 233:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا
وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )
Artinya: “Apabila
keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas
dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas
keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat ini membicarakan
bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang
berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari
menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua
harus mengadakan musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada
musyawarah, seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu
akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut.[[3]] Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan
rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara
suami istri.
2.
Surat Ali ‘Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران:
١٥٩ )
Artinya: “Maka disebabkan
rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya
engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian
apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS.
Ali ‘Imran: 159)
Dalam ayat ini disebutkan
sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti
“menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku
pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak
lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya
kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang
bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin
saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar
kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu
masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah
musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Asbabun-Nuzul dari ayat
ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar,
banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan
masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan
Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang
tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya
dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa
Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar Bin Khattab juga
dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja.
Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar
dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab
bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua
pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk
mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan
agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan
menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini
diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain
memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawahan
pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab
Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini
maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.[[4]]
3.
Surat Al-Syura ayat 38:
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (الشورى: ٣٨)
Artinya: “Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS.
Asy-Syura: 38)
Ayat ini turun sebagai
pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela
Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka
laksanakan dirumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku
umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.
Kata ( أَمْرُهُمْ ) amruhum/
urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal
yang berkaitan dengan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena
itu masalah ibadah mahdhah/ murni yang sepenuhnya berada dalam
wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Di sisi
lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan yang dimaksud, tidaklah perlu
terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika di ajak oleh yang berwewenang,
karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar
mereka. Al-Maraghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka mengadakan
musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada lagi
peperangan dan sebagainya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka bermusyawarah
didalam mengambil suatu keputusan untuk mereka ikuti pendapat itu, contohnya
dalam peperangan. [[5]]
Al-Qur’an tidak mejelaskan
bagaimana bentuk Syûrâ yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan
kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ yang mereka
inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu
diingat bahwa ayat ini pada periode dimana belum lagi terbentuk masyarakat
Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum
terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul SAW. Turunnya ayat yang
menguraikan Syûrâ pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah
adalah anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum
ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.
4.
Surat An-Nisa
ayat 59 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya : "Hai
orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"
Pada
ayat ini Allah menyeru kepada orang yang beriman untuk mentaati Allah, mentaati
Rasul dan Ulil Amri (pemegegang kekuasaan (pemimpin) atau si penegang mandat)
di antara mereka sebagai wujud keimanan kepada Allah dan hari akhir dalam
bentuk pelaksanaan hukum dan amanat di antara manusia.
Ketaatan
kepada Allah, Rasul dan ulil Amri serta mengembalikan setiap perselisihan
kepada Allah dan RasulNya di dalam ayat ini
dinyatakan sebagai persyaratan keimanan kepada Allah dan hari akhir
“yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
C.
MANFAAT
MUSYAWARAH
Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal,
pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan
jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka
mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya.
Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik. Di dalam musyawarah, akan
tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati.
Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah
yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam
shalat-shalat fardhu.
D. MUSYAWARAH DALAM AL-QUR’AN
1. Orang yang diminta bermusyawarah
Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah
yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal
ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang.
Bila Nabi Saw. Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal
beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi
manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap
dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada
Nabi Saw.
2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)
Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan
secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat
dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan
pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln
duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang
mengalami perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan
urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial.
Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta
saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga.
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat
dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas
dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. Hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat
dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan
pengalaman manusia belum sampai kesana.
3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan
urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran
ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan
bernusyawarah dengan “mereka”. Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin
oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat. Jadi
musyawarah dapat dilakukan dengan siapapun asalkan ia mempunyai akal yang
sehat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang
terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat
orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan
dengan perundingan atau tukar pikiran.
Adapu faedah dari musyawarah adalah :
1.
Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar
kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum
2.
Kemampuan akal manusia itu
bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan
ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain,
para pembesar sekalipun.
3.
Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu,
dipilihlah pendapat yang lebih baik. Di dalam musyawarah, akan tampak
bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal
itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang
dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang:
CV. Toha Putra, 1986
Abi Qasim Jaarullah Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhsyariy
al-Khawarizmiy, Tafsir al-Kasyaf Juz I , Beirut: Daarul Fikri, tt
Bahreisy Salim, dan Bahreisy, Said, Terjemah Singkat
Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Surabaya: Bina Ilmu, 1984
Katsir, Ibnu, Tafsir
Al-Qur’an al ’Azim Jilid IV, Beirut: Daarul Fikri, tt
Khiyad, Yusuf dan Mur’asliy Nadim, , Lisanul ‘Arabil
Mahid, Beirut: Daarul Fikri, tt
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman
Al-Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Al-Mahali, 2002
Nasution,Harun, Ensiklopedi
Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan; 1992
Shihab, M. Quraish, Tafsir
Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati; 2002
[1]
M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati; 2002), hal. 512
[2]
Yusuf Khiyad dan Nadim Mur’asliy, Lisanul
‘Arabil Mahid, ( Beirut: tt), h. 380
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir
Juz I, (Beirut: Daarul Fikri, tt), hal. 380
[4]
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul
Studi Pendalaman Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Al-Mahali, 2002), hal.
184.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al
’Azim Jilid IV, (Beirut: Daarul Fikri, tt), hal. 143.
mksih
BalasHapus