BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat pada zaman
modern lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan
di zaman skolastik. Salah satu orang yang berjasa dalam membangun landasan
pemikiran baru di dunia barat adalah Rene Descartes. Descartes menawarkan
sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini
bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir
ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan cogito
ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Teori pengetahuan yang dikembangkan
Rene Descartes ini dikenal dengan nama rasionalosme karena alur pikir yang
dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada kekuatan rasio (akal) manusia.
Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof
yang berkembang kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang
menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman. Mereka inilah yang
disebut sebagai kaum empirisme, di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes,
George Barkeley, dan David Hume. Dalam makalah ini tidak akan membahas semua
tokoh empirisme, akan tetapi akan dibahas empirisme David Hume yang dianggap
sebagai puncak empirisme.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian empirisme ?
2.
Bagaimana biografi david hume ?
3.
Bagaimana pemikiran-pemikiran david hume ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Empirisme
Empirisme adalah
suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme sendiri diambil
dari bahasa Yunani yakni Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.
Empirisme memilih sumber utama pengetahuan bukan dari rasio melainkan
pengalaman. Empirisme menurut wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah
membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.[[1]]
Paham empirisme ini mempunyai ciri-ciri pokok. Di antara ciri-ciri pokok
empirisme yaitu:[[2]]
a.
Teori Tentang Makna
Teori pada aliran
empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan yaitu asal
usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan, teori ini diringkaskan dalam rumus
Nihil Est in Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu (tidak ada sesuatu di
dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Pernyataan ini merupakan
tesis Locke yang terdapat dalam bukunya “An Essay Concerning Human
Understanding” yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan (Innate
Idea) kepada orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan
keadaannya kosong laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan
setiap ide yang diperolehnya mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud
di sini adalah pengalaman indrawi. Hume mempertegas teori ini dalam bab
pembukaan bukunya “Treatise of Human Nature (1793)” dengan cara membedakan
antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki itu datang dengan kesan-kesan,
dan kesan itu mencakup penginderaan, passion dan emosi.
b.
Teori Pengetahuan
Menurut rasionalis
ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu mempunyai sebab,
dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan kebenaran-kebenaran
itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang
diperoleh keluar intuisi rasional. Empirisme menolak hal demikian karena tidak
ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah
kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a
posteriori.
B. Biografi David Hume
Hume lahir di Edinburgh
Skotlandia pada 26 April 1711 anak bungsu dalam keluarga yang baik tetapi tidak
kaya. Ayahnya meninggal ketika Hume masih kecil, dan ia dibesarkan oleh ibunya
di perkebunan keluarga Ninewells, dekat Berwick. Hume adalah seorang murid yang
sukses, dan sebagai anak muda, ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap
sastran dan filsafat. Solomon (2002: 390) menyebut bahwa filsafat Hume adalah
skeptisisme yang menyeluruh. Tahun 1723 ia masuk Universitas Edinburgh, studi
pada hukum sesuai keinginan ibunya.[[3]]
Selama tiga tahun studi hukum dia membangun pandangan filsafatnya.
Pada musim gugur
1729 dia mengalami gangguan kejiwaan parah (Vapor) selama 5 tahun. Hal ini
disebabkan karena dia mengalami perasaan puas pertama kali dia membantai
raksasa segala ilmu pengetahuan, filsafat dan teologi padahal umurnya masih
relatif muda. Karena kejadian ini dia memutuskan mundur dari dunia filsafat,
akan tetapi kemudian justru dia mengambil keputusan untuk pergi ke Prancis Pada
usia 23 tahun, ke La Fleche tempat perguruan Jesuit Descrates dulu untuk upaya
penyembuhan dari penyakitnya. Disana dia menyelesaikan buku pertamanya yang
hampir selesai pada tahun 1737, Treatise of Human Nature, saat usianya masih 26
tahun (Robbert Cummins and David Owen, 1998: 325). Hume memiliki harapan yang
tinggi pada karya ini, tetapi penerbitan karya ini tidak banyak mendapat
perhatian.
Meskipun patah
semangat, karena buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis. Di
tahun 1741-1742 saat di Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral and Political.
Karya ini mendapatkan kesuksesan, dan Hume bersemangat untuk merevisi Treatise.
Akan tetapi, Hume tidak pernah bisa mendapatkan gelar profesor baik di
Universitas Edinburgh dan Glasgow, karena skeptismenya dan dia ateis, mencemooh
keyakinan beragama.[[4]]
Dia kembali ke Prancis 1763 sebagai sekretaris duta besar Inggris.
Pada tahun 1751,
revisi terakhir bagian pertama dan ketiga karya Treatise diterbitkan
masing-masing dengan judul An Enquiry Concerning Human Understanding dan An
Enquiry Concerning The Principles of Morals. Kira-kira pada saat yang sama,
Hume menulis karya yang berjudul Dialogue Concerning Natural Religion. Dialogue
menjelaskan sikap Hume tentang eksistensi Tuhan dan sifat agama. Namun atas
saran teman yang memiliki perhatian terhadap sifat pandangannya yang radikal,
Hume tidak jadi menerbitkan Dialogue. Dengan ketetapan dari kehendak Hume,
karya itu diterbitkan setelah Hume meninggal di tahun 1779.[[5]]
Antara tahun
1752-1757, Hume mengabdi sebagai petugas perpustakaan di Faculty of Advocates
di Edinburg.[[6]]
Setelah mendapatkan sumber-sumber dari perpustakaan ini, Hume menulis tentang
sejarah Inggris. Karya ini tidak hanya panjang, tetapi juga kontroversial.
Bagaimanapun, sebagai akibatnya, semua tulisan Hume menjadi lebih dikenal dan
karya-karya itu mendapat pujian luas dari beberapa kalangan. Pujian tersebut
terutama datang dari kalangan intelektual Perancis dan ketika Hume pergi ke
sana pada tahun 1763 sebagai sekretaris Duta Besar Inggris, ia menerima
sambutan hangat. Ia kembali ke London di tahun 1766 bersama Rousseau, meskipun
hubungan antara keduanya segera menegang.[[7]]
Setelah mengabdi selama tiga tahun di Undersecretary of State, Hume pensiun di
Edinburg dan meninggal di sana tahun 1776.
C. Teori Hume Tentang Pengalaman dan Kausalitas
(Sebab-Akibat)
Teori Hume tentang
pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat
dipecah menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah
kesan (impression) menunjuk kepada semua persepsi kita yang lebih hidup ketika
mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki.
Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan
semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Di sisi lain, ide adalah
gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan, yang
terakhir ini sering melibatkan kemampuan imajinasi kita yang memberi produk
ide, yang mungkin kita memiliki kaitan langsung di dalam wilayah kesan.
Meskipun demikian, semua ide dasarnya berasal dari kesan.
Hume sangat
tertarik pada relasi sebab dan akibat karena semua pertimbangan yang berkenaan
dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat. Dengan
sarana relasi itu, kita dapat melampaui bukti dari memori dan indera kita. Hume
menegaskan bahwa ketika kita berpikir tentang relasi sebab dan akibat antara
dua hal atau lebih, maka biasanya kita memaksudkannya dengan arti bahwa yang
satu, secara langsung atau tidak langsung bersebelahan dengan yang lain, dan
bahwa yang satu, yang kita beri tanda sebagai sebab adalah dalam beberapa hal,
secara temporer mendahului yang lain. Bagaimanapun, kondisi-kondisi ini tampak
tidak mencukupi bagi munculnya sebuah relasi sebab dan akibat. Karena dapat
dipahami bahwa X dapat bersebelahan dengan dan secara temporer sebelum Y tanpa
menjadi sebab dari Y, maka diperlukan sesuatu yang lebih. Hume beranggapan
bahwa kita menambahkan sebuah ide jika ada hubungan tetap (necessary
connection) antara X dan Y di dalam situasi di mana X dikatakan sebab dari Y.
Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa atau hal pasti memiliki suatu sebab
yang menghasilkannya secara pasti, maka pemahaman biasa tentang relasi sebab
dan akibat tidak akan muncul. Dengan demikian, jika suatu gejala tertentu
disusul oleh gejala lain, dengan sendirinya kita cenderung kepada pikiran bahwa
gejala yang satu disebabkan oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang
disinari matahari selalu panas. Kita menyimpulkan batu menjadi panas karena
disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini tidak berdasarkan pengalaman.
Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala, tetapi tidak memperlihatkan
urutan sebab-akibat.[[8]]
Hume menegaskan
bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau
kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja
dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api
tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif
yang disebut hukum kausalitas itu bukanlah yang dapat diamati, bukan hal yang
dapat dilihat dengan mata sebagai benda yang berada dalam air yang direbus.
Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang
akan datang berdasarkan peristiwa yang terdahulu.
D. Teori Hume Tentang Eksistensi Tuhan
Hume mengkritik
keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti
pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya
membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku
mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang
berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu
sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda berpikir sebagai akibat.
Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes
mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab harus sama
nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas sehingga
tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi Hume
gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan baik
landasan rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai
keberadaan Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes” menggunakan
bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu
mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan
oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada wujud-Nya. Bukti ini sampai
pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini
dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke
telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan
yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai
keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti
dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha
Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam
keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak
ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti. Namun
kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian
ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.
Hume menyangkal
dalam bukunya “Dialogues Concerning Natural Religion”, dia menggunakan bentuk
dialog Plato untuk menjatuhkan Deisme. Tiga karakter memerankan masing-masing
sebagai seorang penganut Kristen yang alim, dan sangat ortodok; seorang
pengikut Deisme yang mendukung agama yang alami, rasional dan memiliki
keterkaitan dengan sains; serta seorang penganut skeptisme yang meremehkan
keduanya. Suara Hume tertuang dalam Philo yang skeptis, yang suka mempermainkan
orang, khususnya penganut Deisme yang menyatakan memiliki agama yang alami dan
rasional. Kesan dari indera kita, kata Philo si skeptis, menjadi landasan bagi
pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa
alam semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin
bahwa keteraturan semacam itu akan berlanjut selamanya.
Hume berkata,
perhatikan dengan seksama dunia ini dan lihat apakah ini merupakan karya
arsitek yang Maha Kuasa dan Maha Bisa. Jika seorang arsitek menunjukan pada
anda “sebuah rumah atau istana dimana tidak ada satu ruangpun yang layak,
dimana jendela, pintu, tungku, gang, tangga dan keseluruhan bangunan ekonominya
merupakan sumber keributan, kebingungan, kelelahan, kegelapan, dan ekstremnya
panas dan dingin, anda tentu akan menyalahkan alatnya, anda akan mengemukakan
pembelaan yakni jika saja arsiteknya memiliki keahlian dan maksud yang baik,
mungkin dia telah membetulkan semua atau sebagian besar ketidak layakan ini”.
Dalam alam manusia, tambah Hume, apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini
dirancang dengan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana
anda menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia?
Perhatikan sekeliling alam ini, perhatikan lebih dekat makhluk hidup ini betapa
mereka saling menjahati dan merusak, betapa terkutuk dan jahatnya bagi yang
melihat alam yang buta, menyembul dari pengakuan tanpa ada perhatian dan
kepedulian, anaknya yang terluka dan buruk. Dengan ungkapan Hume ini, maka dia
sebenarnya telah meragukan eksistensi akan keberadaan Tuhan itu sendiri karena
menurut Hume, eksistensi Tuhan itu tidak dapat ditangkap lewat kesan
pengalaman, sehingga eksistensi tidak dapat diragukannya.
E. Beberapa Masalah Dan Pandangan Yang Berguna Dalam
Masalah Hume
Teori Hume ini
meruntuhkan teori rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah
melalui rasio atau akal. Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari
pengalaman yang diterima oleh kesan indrawi. Hal demikian mendorong bagi kita,
bahwa untuk menemukan sebuah pengetahuan kita memerlukan pengalaman kita.
Dengan demikian, bahwa untuk membuktikan sebuah kebenaran akan pengetahuan itu
memerlukan penelitian dilapangan, observasi, percobaan yang mana dengan cara-cara
seperti itulah merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia.
Selanjutnya, ketika
Hume menerapkan teori empirismenya dalam mengkaji eksistensi Tuhan, dia
mengungkapkan bahwa Tuhan yang menurut orang rasionalisme memang sudah ada
dalam alam bawaan sebenarnya tidak nyata. Menurut Hume, pengetahuan akan Tuhan
merupakan sebuah hal yang tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya kesan
pengalaman yang kita rasakan akan Tuhan. Persoalan Tuhan merupakan persoalan
yang berkaitan dengan metafisika. Pembahasan dalam metafisika tidak bisa
didekati dengan pembuktian menuntut adanya suatu yang empiris dan nyata. Jauh
dari kritik destruktif terhadap metafisika dan teologi, Hume memberi analisis
yang kontruktif yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru sambil membuat kita
sadar akan kebutuhan mendasarkan teori kita pada fakta pengalaman. Hume
menawarkan kesempatan dan tantangan untuk membangun teori sendiri dengan
mencoba sedekat mungkin dengan pengalaman.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Teori Hume ini
meruntuhkan teori rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah
melalui rasio atau akal. Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari
pengalaman yang diterima oleh kesan indrawi. Hal demikian mendorong bagi kita,
bahwa untuk menemukan sebuah pengetahuan kita memerlukan pengalaman kita.
Dengan demikian, bahwa untuk membuktikan sebuah kebenaran akan pengetahuan itu
memerlukan penelitian dilapangan, observasi, percobaan yang mana dengan
cara-cara seperti itulah merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia.
Selanjutnya, ketika
Hume menerapkan teori empirismenya dalam mengkaji eksistensi Tuhan, dia
mengungkapkan bahwa Tuhan yang menurut orang rasionalisme memang sudah ada
dalam alam bawaan sebenarnya tidak nyata. Menurut Hume, pengetahuan akan Tuhan
merupakan sebuah hal yang tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya kesan
pengalaman yang kita rasakan akan Tuhan. Persoalan Tuhan merupakan persoalan
yang berkaitan dengan metafisika. Pembahasan dalam metafisika tidak bisa
didekati dengan pembuktian menuntut adanya suatu yang empiris dan nyata. Jauh
dari kritik destruktif terhadap metafisika dan teologi, Hume memberi analisis
yang kontruktif yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru sambil membuat kita
sadar akan kebutuhan mendasarkan teori kita pada fakta pengalaman. Hume
menawarkan kesempatan dan tantangan untuk membangun teori sendiri dengan
mencoba sedekat mungkin dengan pengalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. Flsafat Agama.
Cet. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Dunn, Sony Keraf dan Mikhael.
Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis). Cet. 12. Yogyakarta: Kanisius.
2001.
Hardiman, Muji Sutrisno dan
Budi. Para Filosof Penentu Gerak Zaman. Cet. 8. Yogyakarta: Kanisius. 2000.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Empirisme,
diakses pada hari kamis tanggal 29 September 2010.
Hume, David, An Enquiry
Concerning Human Understanding. Chicago: Chicago University. 1952.
Roth, John K.
Persoalan-Persoalan Filsafat Agama (Kajian Pemikiran 9 Tokoh Dalam Sejarah
Filsafat dan Teologi) Terj. Ali Noer Zaman. Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Juni 2003.
Soff, Louis O Katt. Pengantar
Filsafat. Terj. Soejono Soemargono. Cet. 7. Yogyakarta: Tiara Wacana. November
1996.
Tafsir, Ahmad. Flsafat Umum
(Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Copra). Cet. 11. Bandung: Rosda Karya.
Februari 2003.
Wijaya, Harun Hadi, 2000, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, cet.16
Russell, Bertrand, 1946,
History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Time to the Present Day, terj. Sigit Jatmiko,
dkk., 2002,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswanto, Joko, 1998,
Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristotele sampai Derrida, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset
T.Z. Lavine, 1984, From
Socrates to Sartre: The Philosophic Quest, Terj. Andi Iswanto dan Deddy Andrian
Utama, 2002, Yogyakarta: Penerbit Jendela
Muhammad Nur Fadli, Empirisme David Hume, Accsed : http://fadhlim98.blogspot.com/2011/05/empirisme-david-hume.html
[1] Muhammad Nur
Fadli, Empirisme David Hume, Accsed :
http://fadhlim98.blogspot.com/2011/05/empirisme-david-hume.html
[2] Diposkan oleh Pojok Ilmiah di 06:35 Selasa, 15 November 2011, http://pojokilmiah.blogspot.com/2011/11/filsafat-empirisme-studi-pemikiran.html
[3] T.Z. Lavine, 1984, From
Socrates to Sartre: The Philosophic Quest, Terj. Andi Iswanto dan Deddy Andrian
Utama, 2002, Yogyakarta: Penerbit Jendela. H.137
[4] Ibid, Lavine h. 139
[5]
http://pojokilmiah.blogspot.com/2011/11/filsafat-empirisme-studi-pemikiran.html
[6] Siswanto, Joko, 1998,
Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristotele sampai Derrida, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset. H.49
[7] Russell, Bertrand, 1946,
History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Time to the Present Day, terj. Sigit Jatmiko,
dkk., 2002,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[8] Wijaya, Harun Hadi, 2000, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, cet.16. h. 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar